Kamis, 03 September 2015

JELAJAH BANYUWANGI : PANTAI PULAU MERAH, PANTAI TELUK IJO, DAN KAWAH IJEN.

Sebuah pertunjukan wayang  membangunkanku di sebuah bus, dalam perjalanan ke pantai pulau merah, pandanganku hanya tertuju pada gerak tangan seorang kakek tua yang menggerakan wayang, ada pun  bahasa Jawa yang diucapkan, tak sedikit pun kumengerti. Setelah Kurang lebih 3 jam perjalanan, kami  bertiga diturunkan di sebuah perempatan di daerah Jajag, dari lokasi ini, 2 pengojek lantas mengantarkan kami  ke tempat tujuan, langit mendung beserta rasa lelah mengiringi satu setengah jam perjalanan kami untuk sampai ke pantai pulau merah.  Selanjutnya, kami mengahampiri  salah satu warung yang berjejer di pantai pulau merah dengan 2  maksud tertentu yaitu, makan dan bertanya tentang penginapan. Dan berkat bantuan pemilik warung,  kami akhirnya menginap  di sebuah homestay dengan harga Rp. 150.000/malam. Dan di kamar inilah ego mulai memuncak, percakapan tentang perjalanan selanjutnya dan keuangan yang mulai menipis memaksa kami untuk memutar otak untuk mengisi  perjalanan 3 hari kedepan, terlintas dari ingatanku pengojek yang tadi mengantarkan, sempat menawarkan sebuah destinasi ke pantai teluk ijo yang masih berada di daerah Banyuwangi, sedangkan  Adit dan Toge, masih terbayang dengan keindahan kawah ijen yang seharusnya menjadi perjalanan selajutnya. Beruntungnya, di homestay ini  kami bertemu dengan pemuda berbadan gempal dan berkulit hitam bernama Nanang  yang  menawarkan sebuah destinasi yang cukup murah, dengan biaya Rp. 750.000 kami akan diantarkan menggunakan mobil ke pantai teluk ijo dan kawah ijen.  Muncul rasa ragu, namun ini menerupakan penawaran menarik, akhirnya kami mengajaknya ngobrol dengan seksama, dan kesepakatan tercapai. Esok lusa kami akan diantarkannya. Hari esoknya saya terbangun pada pukul 7 pagi, dan 2 teman ini masih terlena oleh kasur yang ditidurinya. Kamera dan tripod telah berada di genggaman dan kaki telah berjalan melintasi pasir putih, yang akan tampak kemerahan bila terlihat dari kejauhan. mungkin inilah salah satu alasan kenapa pantai ini dinamakan pantai pulau merah.  Matahari mulai meninggi, deburan ombak menghantam  bukit hijau yang berdiri kokoh diantara pasir dan laut. Bebrapa turis luar terlihat menantang deburan ombak itu dengan sebuah papan seluncur, dan mata ini terus  mencari momen terbaik yang akan terbingkai dalam sebuah kamera. 

Pantai Pulau Merah, (8/8/15).


Akhirnya Adit dan Toge muncul dari balik pepohonan dan payung teduh yg tertancap dekat kursi malas. Ketika sampai pada waktu berfoto kami seakan sibuk dengan kamera masing – masing  dan perasaan angkuh yang ingin menghasilkan foto terbaik . Kaki ini terus menyusuri pasir, dan beberapa jejak kaki sebelumnya telah tersapu oleh deburan ombak. Pantai mulai rame diisi pengunjung,  Bebarapa kendaraan terlihat terparkir dibalik pepohonan, dan tubuh ini memustuskan untuk  beristirahat, dari kejauhan Adit mulai menghampiri dan mengajak sarapan.  Sedangkan Toge masih sibuk berburu foto dan belum nampak dari penglihatanku. Perut telah terisi dan kami berdua telah berada di homestay, tak lama Toge juga telah muncul  di kamar. Kami bertiga sepakat akan menginap semalam lagi di homestay ini, tapi kabar tak enak mengahampiri, kami harus pindah ke  homestay lain, karena kamar ini telah di booking orang dari jauh hari.  Beruntung, pemiliknya berbaik hati mengantarkan kami ke homestay serupa milik tetangganya, dengan biaya yang sama. Siang hari di homestay baru, kami menunggu datangnya senja , langit masih nampak seperti biasa, warna biru yang  dihiasi bercak-bercak putih. Namun, mujur  tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, sampai pada senja hari matahari bulat itu tak menampakkan diri, diikuti langit kuning beserta warna ungunya.  Hanya ada warna abu- abu pada langit dan kapal nelayan yang mulai muncul dari laut kejauhan beserta suara ombak yang mengisi kuping. Ada yang mengatakan,  bahwa ini pengaruh dari  erupsi gunung raung yang menutup langit beberapa daerah di Jawa Timur. Dan hanya rasa syukur yang bisa mengobati  rasa rindu ini akan senja .  Dalam hati hanya bisa berkata masih beruntung kami bisa sampai disini dengan izinNYA. Malam hari, di warung  kecil dengan cat putih, pemuda bernama Nanang yang kemarin menawarkan jasanya datang menghampiri kami. Kali ini ia datang membawa teman bernama  Aad, ia mengubah rencana dengan  menawarkan motor  yang akan mengiringi perjalanan esok dan bonusnya kami akan menginap dirumahnya selama sehari dengan biaya yg sama. Seruput kopi terakahir mengiringi selesainya percakapan dimalam hari dan kami kembali ke homestay untuk menyambut esok pagi.

Keesokan pagi sesuai dengan rencana, kami telah bangun jam 9 pagi, dan bergegas berangkat pada pukul  11,  mas Nanang dan mas Aad  telah siap, dan mereka membawa satu teman lagi bernama Edhi, 3 motor telah cukup mangantarkan kami menuju pantai teluk ijo. Dalam perjalanan ini kami memasuki perkebunan milik PT. Perkebunan Nusantara, sepanjang jalan tampak pohon kakao, dan pohon karet yang menjulang tinggi, sebagian jalanan rusak juga mengiringi perjalan kami.  Sialnya, motor mas Nanang mendapatkan sedikit kendala, ban yang nampaknya sudah gundul itu meledus di perjalanan,tapi beruntung sebuah bengkel kecil di pinggir jalan bisa menyelesaikan masalah itu.  Perjalanan kembali dilanjutkan, laut lepas tampak mulai keliatan dari kejauhan,  beberapa tanjakan dan bebatuan juga menjadi  sedikit tantangan, dan sampailah kami pada parkiran. Namun, perjalanan tak lantas selesai, kami harus berjalan lagi sekitar 3 kiloan dari parkiran motor, kali ini mas Nanang, Aad, dan Edhie tak ikut mengantarkan, tapi  ia menyuruh  2 teman lain yang ditemuinya di jalan. Melewati berbagai anak tangga adalah jalannya  dan   pemandangan pantai batu adalah sedikit pemanis untuk bisa sampai di teluk ijo.  Sebuah papan  bertuliskan selamat datang di pantai teluk ijo menyambut kedatangan, sedangkan  laut yang berwarna hijau sungguh indah dipandang.  Orang – orang telah ramai berdatangan, dan beberapa diantaranya diantarkan oleh kapal dari pantai rajegwesi yang juga tak jauh dari pantai teluk ijo. 

Pantai Teluk Ijo, (9/8/15).
Setelah puas berfoto saya berjalan menaiki bebatuan karang untuk menikmati indahnya panorama ini. Sayang,  kami tak lama di tempat ini karena malamnya akan melanjutkan perjalanan ke kawah ijen, di tempat ini juga berbagai peralatan kamera harus hilang dari genggaman,  Mungkin salah satunya hilang di telan ombak.  Kami lantas bergegas kembali melewati medan yang sama untuk kembali di parkiran, dan  mas Nanang menyambut kami di sebuah warung dengan sebuah pertanyaan “gimana, mantapkan?”  saya hanya mengangguk dan tersenyum, mungkin faktor lelah dan kehilangan beberapa alat kamera yang membuatku sedikit malas bicara. Perjalanan pulang tampak melelahkan ditemani langit mendung seperi kemarin hari.  Rumah istri mas nanang menjadi tempat istrirahat untuk tubuh yang lelah ini, dan kamar kosong yang tampak jarang dipakai menjadi tempat tidurku bersama Adit.

Suara berisik diluar kamar membuatku terbangun pada  jam 9 malam, rasa penasaran hendak membawaku pada suara itu, yang tak lain adalah dari tangan mas Nanang yang sedang memperbaiki motornya.  Ia kemudian menyuruhku untuk bersiap-siap, dan tak lama berselang mas Edhi datang menjemput Adit.  Warung makan di daerah Genteng menjadi persinggahan untuk makan malam, dan menunggu Toge yang berisitrahat di basecamp mas Aad.  Sebatang rokok setelah makan cukup untuk menunggu kedatangan mas Aad dan Toge.  Akhirnya perjalan dimulai, dan berbagai masalah dialami motor mas Nanang  dalam perjalanan ini, dari ban yang bocor sampai motor yang tak sanggup mendaki.  Adapun motor mas Edhie kehabisan bensin di tengah perjalanan, tapi  perhentian itu membuatku sangat kagum melihat langit yang tampak dipenuhi bintang-bintang. Beberapa penambang yang hendak berangkat ke kawah  sempat ingin menolong, tapi masalah segera terselesaikan, lalu perjalanan dilanjutkan hingga sampai di parkiran motor, dekat pos jaga kawah ijen. Kali ini mas Aad dan mas Nanang tak ikut perjalanan mendaki ke kawah ijen dan melihat blue fire, kami hanya di temani oleh mas Edhi . Tiket yang telah dibeli, diperiksa di pos jaga, lalu perjalanan dimulai berjalan menyusuri gelapnya malam, dan debu dari tanah yang mengendap masuk kepernapasan.  Bau busuk belerang mulai tercium dari kejauhan dan kami hanya membawa beberapa senter kecil dan masker. Langkah kaki kecil mngiringi, dan jurang tampak disamping kami, beberapa turis mulai terlihat kelelahan dan beristirahat sejenak. Sekitar satu setengah jam perjalanan, sampailah kami pada perhentian terakhir sebelum turun kebawah mulut kawah ijen, dimana para turis bisa melihat blue fire lebih dekat. Tiba-tiba seorang penambang datang menawarkan beberapa masker yang lebih layak, dengan harga Rp. 25.000/masker, awalnya kami ragu karena keuangan  mulai menipis, tapi faktor keselamatan memaksa kami untuk melangkah lebih jauh, penambang tersebut mengatakan bau busuk dari belerang adalah racun dan bisa mamatikan.  Masker telah digunakan dan kami mulai turun kebawah dengan langkah-langkah kecil,  bebatuan yang licin memaksa kami harus berhati-hati dan berjalan pelan. Adapun, beberapa penambang yang berjalan naik, dengan kuatnya mengangkut beberapa kilo belerang sambil menyapa, dan melempar senyuman kepada turis.  Blue fire mulai nampak lebih dekat dan akhirnya kami sampai pada tujuan, beberapa turis mulai mendekat, dan berfoto. Cuaca dingin yang seakan menusuk kulit  membuatku malas untuk bergerak dari tempat, tapi kesempatan ini  cukup sayang bila dilewatkan untuk tidak berfoto.

Beberapa pengunjung memotret blue fire menggunakan  kamera, di kawah ijen, Banyuwangi, Jawa timur (10/8/15). fenomena lue fire hanya bisa disaksikan pada tengah malam hingga menjelang pagi.
Lalu, waktu seakan cepat berlalu, langit tampak mulai memerah dan warna biru api itu mulai terlihat pudar,  kabut tipis tampak beradu oleh asap tebal dari belerang, dan danau hijau mulai tampak nyata dari kejauhan . Beberapa turis terlihat  mulai mendakati danau hijau,  tetapi para penambang yang bekerja  dekat  danau justru lebih menarik pandanganku. Semakin dekat  berjalan kearah  penambang, bau busuk belerang juga seakan tak mau kalah, memasang masker lebih rapat mungkin akan membuatku lebih aman, tapi yag mengeherankan adalah melihat para penambang dengan santainya bekerja tanpa menggunakan masker. 
Penambang belerang, kawah ijen, (10/8/15).
Matahari mulai nampak tinggi, menerangi seluruh kawasan kawah ijen,  dan beberapa turis mulai naik ke atas. Saya bersama Adit dan mas Edhi memutuskan  untuk naik melihat lebih tinggi lagi. Namun, Toge masih asik berfoto di beberapa lokasi. Dari atas panorama yang disajikan memang  tampak lebih indah, bukit bukit yang dibalut oleh kabut tipis,matahari yang muncul diantara pegunungan, dan  siluet kecil manusia yang berjalan diatas perbukitan sungguh sedap dipandang.  Awalnya rasa ragu dan berbagai halangan sempat memutuskan ambisi kami untuk ke Kawah ijen. Namun, kembali lagi dengan IzinNYA, pula kami bertiga akhirnya sampai di tempat yang indah ini. Dan hanya rasa syukur yang  bisa kuucapkan dalam hati. 

Kawah ijen, Banyuwangi, Jawa Timur (10/8/15).