Sebuah pertunjukan wayang membangunkanku di sebuah bus, dalam
perjalanan ke pantai pulau merah, pandanganku hanya tertuju pada gerak tangan
seorang kakek tua yang menggerakan wayang, ada pun bahasa Jawa yang diucapkan, tak sedikit pun
kumengerti. Setelah Kurang lebih 3 jam perjalanan, kami bertiga diturunkan di sebuah perempatan di
daerah Jajag, dari lokasi ini, 2 pengojek lantas mengantarkan kami ke tempat tujuan, langit mendung beserta rasa
lelah mengiringi satu setengah jam perjalanan kami untuk sampai ke pantai pulau
merah. Selanjutnya, kami
mengahampiri salah satu warung yang
berjejer di pantai pulau merah dengan 2
maksud tertentu yaitu, makan dan bertanya tentang penginapan. Dan berkat
bantuan pemilik warung, kami akhirnya
menginap di sebuah homestay dengan
harga Rp. 150.000/malam. Dan di kamar inilah ego mulai memuncak, percakapan
tentang perjalanan selanjutnya dan keuangan yang mulai menipis memaksa kami
untuk memutar otak untuk mengisi
perjalanan 3 hari kedepan, terlintas dari ingatanku pengojek yang tadi
mengantarkan, sempat menawarkan sebuah destinasi ke pantai teluk ijo yang masih
berada di daerah Banyuwangi, sedangkan
Adit dan Toge, masih terbayang dengan keindahan kawah ijen yang seharusnya
menjadi perjalanan selajutnya. Beruntungnya, di homestay ini kami bertemu dengan pemuda berbadan gempal
dan berkulit hitam bernama Nanang
yang menawarkan sebuah destinasi yang
cukup murah, dengan biaya Rp. 750.000 kami akan diantarkan menggunakan mobil ke
pantai teluk ijo dan kawah ijen. Muncul
rasa ragu, namun ini menerupakan penawaran menarik, akhirnya kami mengajaknya
ngobrol dengan seksama, dan kesepakatan tercapai. Esok lusa kami akan
diantarkannya. Hari esoknya saya terbangun pada pukul 7 pagi, dan 2 teman
ini masih terlena oleh kasur yang ditidurinya. Kamera dan tripod telah berada
di genggaman dan kaki telah berjalan melintasi pasir putih, yang akan tampak
kemerahan bila terlihat dari kejauhan. mungkin inilah salah satu alasan kenapa
pantai ini dinamakan pantai pulau merah. Matahari mulai meninggi, deburan ombak
menghantam bukit hijau yang berdiri
kokoh diantara pasir dan laut. Bebrapa turis luar terlihat menantang deburan
ombak itu dengan sebuah papan seluncur, dan mata ini terus mencari momen terbaik yang akan terbingkai
dalam sebuah kamera.
|
Pantai Pulau Merah, (8/8/15). |
Akhirnya Adit dan
Toge muncul dari balik pepohonan dan payung teduh yg tertancap dekat kursi
malas. Ketika sampai pada waktu berfoto kami seakan sibuk dengan kamera masing
– masing dan perasaan angkuh yang ingin
menghasilkan foto terbaik . Kaki ini terus menyusuri pasir, dan beberapa jejak
kaki sebelumnya telah tersapu oleh deburan ombak. Pantai mulai rame diisi
pengunjung, Bebarapa kendaraan terlihat
terparkir dibalik pepohonan, dan tubuh ini memustuskan untuk beristirahat, dari kejauhan Adit mulai
menghampiri dan mengajak sarapan. Sedangkan
Toge masih sibuk berburu foto dan belum nampak dari penglihatanku. Perut telah terisi dan kami berdua telah berada di homestay,
tak lama Toge juga telah muncul di
kamar. Kami bertiga sepakat akan menginap semalam lagi di homestay ini, tapi
kabar tak enak mengahampiri, kami harus pindah ke homestay lain, karena kamar ini telah di
booking orang dari jauh hari. Beruntung,
pemiliknya berbaik hati mengantarkan kami ke homestay serupa milik tetangganya,
dengan biaya yang sama. Siang hari di homestay baru, kami menunggu datangnya senja
, langit masih nampak seperti biasa, warna biru yang dihiasi bercak-bercak putih. Namun, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak,
sampai pada senja hari matahari bulat itu tak menampakkan diri, diikuti langit
kuning beserta warna ungunya. Hanya ada warna
abu- abu pada langit dan kapal nelayan yang mulai muncul dari laut kejauhan beserta
suara ombak yang mengisi kuping. Ada yang mengatakan, bahwa ini pengaruh dari erupsi gunung raung yang menutup langit
beberapa daerah di Jawa Timur. Dan hanya rasa syukur yang bisa mengobati rasa rindu ini akan senja . Dalam hati hanya bisa berkata masih beruntung
kami bisa sampai disini dengan izinNYA. Malam hari, di warung kecil dengan cat putih, pemuda bernama Nanang
yang kemarin menawarkan jasanya datang menghampiri kami. Kali ini ia datang
membawa teman bernama Aad, ia mengubah
rencana dengan menawarkan motor yang akan mengiringi perjalanan esok dan bonusnya
kami akan menginap dirumahnya selama sehari dengan biaya yg sama. Seruput kopi
terakahir mengiringi selesainya percakapan dimalam hari dan kami kembali ke
homestay untuk menyambut esok pagi.
Keesokan pagi sesuai dengan rencana,
kami telah bangun jam 9 pagi, dan bergegas berangkat pada pukul 11, mas
Nanang dan mas Aad telah siap, dan
mereka membawa satu teman lagi bernama Edhi, 3 motor telah cukup mangantarkan
kami menuju pantai teluk ijo. Dalam perjalanan ini kami memasuki perkebunan
milik PT. Perkebunan Nusantara, sepanjang jalan tampak pohon kakao, dan pohon
karet yang menjulang tinggi, sebagian jalanan rusak juga mengiringi perjalan
kami. Sialnya, motor mas Nanang
mendapatkan sedikit kendala, ban yang nampaknya sudah gundul itu meledus di
perjalanan,tapi beruntung sebuah bengkel kecil di pinggir jalan bisa menyelesaikan
masalah itu. Perjalanan kembali
dilanjutkan, laut lepas tampak mulai keliatan dari kejauhan, beberapa tanjakan dan bebatuan juga menjadi sedikit tantangan, dan sampailah kami pada
parkiran. Namun, perjalanan tak lantas selesai, kami harus berjalan lagi
sekitar 3 kiloan dari parkiran motor, kali ini mas Nanang, Aad, dan Edhie tak
ikut mengantarkan, tapi ia menyuruh 2 teman lain yang ditemuinya di jalan. Melewati
berbagai anak tangga adalah jalannya dan
pemandangan pantai batu adalah sedikit
pemanis untuk bisa sampai di teluk ijo.
Sebuah papan bertuliskan selamat
datang di pantai teluk ijo menyambut kedatangan, sedangkan laut yang berwarna hijau sungguh indah
dipandang. Orang – orang telah ramai
berdatangan, dan beberapa diantaranya diantarkan oleh kapal dari pantai
rajegwesi yang juga tak jauh dari pantai teluk ijo.
|
Pantai Teluk Ijo, (9/8/15). |
Setelah puas berfoto saya berjalan menaiki
bebatuan karang untuk menikmati indahnya panorama ini. Sayang, kami tak lama di tempat ini karena malamnya akan
melanjutkan perjalanan ke kawah ijen, di tempat ini juga berbagai peralatan
kamera harus hilang dari genggaman,
Mungkin salah satunya hilang di telan ombak. Kami lantas bergegas kembali melewati medan
yang sama untuk kembali di parkiran, dan
mas Nanang menyambut kami di sebuah warung dengan sebuah pertanyaan
“gimana, mantapkan?” saya hanya
mengangguk dan tersenyum, mungkin faktor lelah dan kehilangan beberapa alat
kamera yang membuatku sedikit malas bicara. Perjalanan pulang tampak melelahkan
ditemani langit mendung seperi kemarin hari.
Rumah istri mas nanang menjadi tempat istrirahat untuk tubuh yang lelah
ini, dan kamar kosong yang tampak jarang dipakai menjadi tempat tidurku bersama
Adit.
Suara berisik diluar kamar
membuatku terbangun pada jam 9 malam,
rasa penasaran hendak membawaku pada suara itu, yang tak lain adalah dari
tangan mas Nanang yang sedang memperbaiki motornya. Ia kemudian menyuruhku untuk bersiap-siap, dan
tak lama berselang mas Edhi datang menjemput Adit. Warung makan di daerah Genteng menjadi
persinggahan untuk makan malam, dan menunggu Toge yang berisitrahat di basecamp mas Aad. Sebatang rokok setelah
makan cukup untuk menunggu kedatangan mas Aad dan Toge. Akhirnya perjalan dimulai, dan berbagai
masalah dialami motor mas Nanang dalam perjalanan
ini, dari ban yang bocor sampai motor yang tak sanggup mendaki. Adapun motor mas Edhie kehabisan bensin di
tengah perjalanan, tapi perhentian itu
membuatku sangat kagum melihat langit yang tampak dipenuhi bintang-bintang.
Beberapa penambang yang hendak berangkat ke kawah sempat ingin menolong, tapi masalah segera
terselesaikan, lalu perjalanan dilanjutkan hingga sampai di parkiran motor,
dekat pos jaga kawah ijen.
Kali ini mas Aad dan mas Nanang tak ikut
perjalanan mendaki ke kawah ijen dan melihat blue fire, kami hanya di temani
oleh mas Edhi . Tiket yang telah dibeli, diperiksa di pos jaga, lalu perjalanan
dimulai berjalan menyusuri gelapnya malam, dan debu dari tanah yang mengendap
masuk kepernapasan. Bau busuk belerang
mulai tercium dari kejauhan dan kami hanya membawa beberapa senter kecil dan
masker. Langkah kaki kecil mngiringi, dan jurang tampak disamping kami, beberapa turis mulai terlihat kelelahan dan beristirahat sejenak. Sekitar satu setengah
jam perjalanan, sampailah kami pada perhentian terakhir sebelum turun kebawah
mulut kawah ijen, dimana para turis bisa melihat blue fire lebih dekat. Tiba-tiba
seorang penambang datang menawarkan beberapa masker yang lebih layak, dengan
harga Rp. 25.000/masker, awalnya kami ragu karena keuangan mulai menipis, tapi faktor keselamatan memaksa
kami untuk melangkah lebih jauh, penambang tersebut mengatakan bau busuk dari
belerang adalah racun dan bisa mamatikan.
Masker telah digunakan dan kami mulai turun kebawah dengan
langkah-langkah kecil, bebatuan yang
licin memaksa kami harus berhati-hati dan berjalan pelan. Adapun, beberapa
penambang yang berjalan naik, dengan kuatnya mengangkut beberapa kilo belerang
sambil menyapa, dan melempar senyuman kepada turis. Blue fire mulai nampak lebih dekat dan
akhirnya kami sampai pada tujuan, beberapa turis mulai mendekat, dan berfoto. Cuaca dingin yang seakan menusuk kulit membuatku
malas untuk bergerak dari tempat, tapi kesempatan ini cukup sayang bila dilewatkan untuk tidak
berfoto.
|
Beberapa pengunjung memotret blue fire menggunakan kamera, di kawah ijen, Banyuwangi, Jawa timur (10/8/15). fenomena lue fire hanya bisa disaksikan pada tengah malam hingga menjelang pagi. |
Lalu, waktu seakan cepat berlalu, langit tampak mulai memerah dan
warna biru api itu mulai terlihat pudar,
kabut tipis tampak beradu oleh asap tebal dari belerang, dan danau hijau
mulai tampak nyata dari kejauhan . Beberapa turis terlihat mulai mendakati danau hijau, tetapi para penambang yang bekerja dekat
danau justru lebih menarik pandanganku. Semakin dekat berjalan kearah penambang, bau busuk belerang juga seakan tak
mau kalah, memasang masker lebih rapat mungkin akan membuatku lebih aman, tapi
yag mengeherankan adalah melihat para penambang dengan santainya bekerja tanpa
menggunakan masker.
|
Penambang belerang, kawah ijen, (10/8/15). |
Matahari mulai nampak tinggi, menerangi
seluruh kawasan kawah ijen, dan beberapa
turis mulai naik ke atas. Saya bersama Adit dan mas Edhi memutuskan untuk naik melihat lebih tinggi lagi. Namun, Toge masih asik berfoto di beberapa lokasi. Dari atas panorama yang disajikan memang
tampak lebih indah, bukit bukit yang
dibalut oleh kabut tipis,matahari yang muncul diantara pegunungan, dan siluet kecil manusia yang berjalan diatas
perbukitan sungguh sedap dipandang. Awalnya
rasa ragu dan berbagai halangan sempat memutuskan ambisi kami untuk ke Kawah
ijen. Namun, kembali lagi dengan IzinNYA, pula kami bertiga akhirnya sampai di
tempat yang indah ini. Dan hanya rasa syukur yang bisa kuucapkan dalam hati.
|
Kawah ijen, Banyuwangi, Jawa Timur (10/8/15). |