|
Toko Gudang Buku BSD (2016) |
Siang itu
hujan melanda kawasan BSD, Serpong yang
bertepatan dengan hari pertama puasa di bulan suci ramadahan 1437 Hijriah,
atau tahun 2016 dalam hitungan masehi. Nurdan
(36) sedang duduk di bangku kasir toko dalam sebuah ruangan berukuran 12x15 meter. Walau menjalakan ibadah puasa, ia
tetap bersemangat menjaga toko tersebut dan tetap melayani permintaan-permintaan
pengunjung yang menanyakan beberapa
judul buku.
Toko yang dijaga oleh Nurdan itu bernama
toko gudang buku BSD, toko yang
menempati dua bangunan rumah toko (ruko)
itu, berlokasi di ruko malibu blok b no 1 BSD
yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari pusat
perbelanjan ITC BSD. Toko buku ini
berbeda dari toko-toko buku besar yang ada di Indonesia. Hampir semua buku yang
mengisi rak-rak tinggi dalam toko itu tak ada yang baru, melainkan buku bekas. Bahkan tak jarang ada beberapa buku yang sudah tidak beredar dipasaran.
Buku-buku bekas tersebut didatangkan dari berbagai daerah yakni,
Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Semarang,
bahkan ada pula dari luar negeri seperti
Malaysia dan Singapura. Jumlah buku
dalam toko buku tersebut kini bisa mencapai
ratusan ribu yang tersusun dalam rak-rak terpisah sesuai dengan jenis bukunya.
Adapun buku-buku yang tersedia diantaranya buku sastra seperti
novel, cerpen, dan kumpulan puisi, selain itu ada juga buku-buku sejarah, agama, politik,
biografi, bahkan komik hingga buku
dongeng untuk anak. Untuk harga buku yang dijual pun beragam dari 5 ribu hingga
jutaan rupiah. Menurut Nurdan dari semua
jenis buku tersebut, buku untuk anak-anak
dan novel yang paling banyak diminati.
Nurdan telah menjaga toko gudang
buku BSD ini, sejak berdiri
pertama kali di tahun 2013. Tapi ia
bukanlah pemilik toko, melainkan Asmi
yang dikenalnya sejak 8 tahun lalu saat menjadi tukang yang merenovasi rumah Asmi. Sejak perkenalannya itulah kini pria kelahiran Bogor itu, menjadi orang
kepercayaan Asmi beberapa tahun terakhir ini. “Kalau boleh dibilang sih
sebenarnya udah seperti keluarga ya”, Ujar Nurdan.
Siapa sangka, bisnis yang mampu
memperoleh omzet hingga ratusan juta rupiah tersebut, berangkat dari kegemaran Asmi membaca buku, pria berumur 44 tahun
tersebut mengaku awalnya tidak pernah berpikir untuk membuka usaha
toko gudang buku. Cerita bermula saat ia mulai intensif membaca buku setelah
lulus kuliah, dan mulailah buku-buku koleksinya itu menumpuk. Kemudian,
beberapa orang mulai menawar buku-buku
koleksi yang ia punya.
Dari situlah ia melihat sebuah peluang bisnis.
Akhirnya di tahun 2002 ia mulai
membuka sebuah lapak di depan kampus
Universitas Indonesia (UI) di jalan Salemba, tak disangka ia mendapatkan hasil
yang lumayan menguntungkan, dan setahun
kemudian ia memberanikan untuk
menjual buku bukunya di dalam sebuah mall, tepatnya di Pasar Festival Kuningan,
Jakarta, yang menurutnya mungkin itulah
toko buku bekas pertama di Jakarta yang membuka lapaknya di dalam mall. Sayang toko bukunya di kuningan tersebut
harus tutup di tahun 2016, karena menurunnya pemasukan dan harga sewa kios yang mulai naik.
Bertahun tahun-tahun kemudian, ia
terus melanjutkan bisnisnya hingga
membuka beberapa cabang toko gudang buku di Indonesia, di antaranya di
Bekasi, Aceh, Dan BSD, Bahkan ia juga membuka satu toko buku di Malayasia. Ia
bersyukur ternyata toko gudang buku miliknya diminati oleh masyarakat luas,
“Ternyata mendapatkan respon yang baik dari masyarakat”, Ujar Asmi saat ditemui di Toko gudang buku BSD pada, (6/6/16).
Namun, Sebagai seorang pebisnis, ia merasa saat ini ada sebuah tantangan yang
harus dihadapinya akibat perkembangan teknologi
yang semakin pesat. Di mana masyarakat modern saat ini mulai
meninggalkan bacaan dalam bentuk fisik akibat derasnya informasi dari internet
maupuan media sosial. Walaupun begitu, tak
sedikitpun ia merasa cemas dan
menganggap kalau fenomena media sosial
ini hanyalah sebuah tren. Ia yakin orang-orang
suatu saat akan kembali lagi ke buku dalam bentuk fisik. “saya yakin suatu saat
dunia buku (fisik) ini akan bergairah kembali”, ucap Asmi.
Kehadiran e-book dalam dunia
teknologi digital juga ditanggapi dengan santai oleh pria lulusan Institut Tekhnologi
Indonesia ini. Ia melihat e-book, bukanlah
sebagai kompetitor bagi buku dalam bentuk fisik melainkan bentuk berbeda
dari sebuah buku, maka dari itu ia menuturkan,
“ E-book janganlah dilihat sebagai
sesuatu yang akan mengalahkan,
tapi menjadi sebuah kemudahan”. Ia melanjutkan “Dengan adanya e-book orang akan lebih mudah mengakses,
bahkan kita bisa membaca buku secara gratis tanpa mengeluarkan biaya.”
Kegemaran Membaca Buku
Soal kegemaran
membaca, Asmi menuturkan semasa
kuliah ia sebenarnya bukanlah orang yang
teramat rajin membaca. Namun,
Ketertarikan membaca itu sebenarnya telah terlihat semasa ia kecil,
saat itu ia telah sering membaca
koran maupun majalah yang diberikan oleh orang tuanya. Barulah selepas ia lulus kuliah,
ketertarikan membaca itu muncul
kembali setelah membaca beberapa buku yang akhirnya menurut Asmi, ia mendapatkan hal-hal yang mendalam dari
suatu persoalan, yang awalnya ia hanya mengetahui
tentang kulit luarnya saja, lalu ketika
membaca buku ia ternyata mendapatkan sesuatu hal yang lebih luas.
|
Foto Azmi bersama tokoh-tokoh terkenal |
Membaca buku menurutnya
adalah sesuatu kenikmatan yang sulit
untuk dijelaskan, ia mengumpamakan membaca sebagaimana halnya orang mendaki
gunung, bagi orang awam hal tersebut patut dipertanyakan, apa keuntungan yang didapat setelah mendaki
dan harus turun lagi, kemudian hal tersebut terus terulang. Begitupun dengan membaca, menurutnya ada sebuah pencapaian yang
tercapai setelah selesai membaca ,dan membaca lagi hingga terus berulang. “ada
sebuah pencapaian-pencapaian yang sulit dilukiskan” tuturnya.
Walaupun saat ini ia telah
melahap banyak buku, tapi ia mengaku tidak punya buku favorit, hanya saja ia
mengingat ada satu buku yang saat ini masih
berkesan untuknya , buku itu berjudul
Membangun Jalan Tengah: Islam antara Timur dan Barat, yang ditulis oleh Alija Izetbegovic, mantan presiden pertama dari negeri yang penuh dengan konfilk, Bosnia
Herzegovina. Dari buku itu ia mendapatkan pesan yang mendalam, “kok ada orang
yang berifkir kayak gini” Ujar Asmi.
Kegemaran Asmi membaca juga boleh jadi dipengaruhi langsung oleh sang ayah, yang notabene adalah
seorang penulis buku atau pengarang asal Aceh bernama Abubakar Bintang. Asmi menuturkan bahwa ayahnya mempunyai
sebuah perpustakan khusus tempat dimana
sang ayah untuk membaca, maupun mencurahkan hasil pikirannya melalui kata-kata
yang ia tulis. Walau tak ada anjuran yang diberikan sang ayah untuk terus
membaca, namun ada pesan yang tidak
secara langsung diberikan ayahnya, dari
keseharian sang ayah yang setiap hari berlama-lamaan dengan buku.
Bagai sebuah epidemi, hal itu
pula yang saat ini ingin ditularkan oleh Asmi kepada 4 anaknya dari seorang istri bernama Rini
(36), yakni Renggali (12), Murabbi (10), Humaira (7), dan Fatimah (3). Ia mengungkapkan salah satu alasan mengapa
ia mendirikan toko gudang buku, agar ia dapat mengenalkan buku kepada
anak-anakanya sejak dini hingga terus melekat kedepannya, “Mudah-mudahan
melekatlah kepada mereka” Ucapnya. Walau
begitu, ia mengaku tak pernah menaruh
standar khusus kepada anak-anaknya untuk harus memulai membaca.
Cinta Kebudayaan Tionghoa
|
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa (2016) |
Selain
kecintaannya terhadap buku, Asmi juga mempunyai hobi lain, walau ia keturunan
Aceh dan seorang muslim, ternyata ia senang
mengoleksi peninggalan-peninggalan sejarah Tionghoa di Nusantara
khususnya karya sastra. Kekagumannya
terhadap kebudayaan dan peradaban
Tionghoa itu ditunjukkan dengan mendirikan sebuah museum bernama, museum
pustaka peranakan Tionghoa.
Museum tersebut telah dibuka
sejak tahun 2012, tapi sempat tutup
dan kembali aktif dibuka tahun 2016.
Tapi jangan membayangkan sebuah museum
dengan gaya arsitektur kuno, Museum ini hanya menempati ruko dua lantai dengan
cat putih yang melapisi tembok bangunannya,
letaknya pun tak jauh
bersebrangan dengan toko gudang buku BSD. Adapun museum ini berisikan
karya-karya dari kebudayaan Tionghoa khususnya karya sastra Tionghoa yg berada
di Nusantara (Indonesia). Untuk berkunjung, museum ini sebenarnya dibuka untuk
umum, tapi pengunjung disarankan untuk
membuat janji pertemuan terlebih dahulu dengan sang pemilik.
Kecintaannya terhadap kebudayaan Tionghoa dimulai saat ia
mulai banyak membaca buku tentang kebudayaan dan perdaban Tionghoa.
Keterlambatannya mempelajari peradaban
Tionghoa memaksa ia untuk berpacu dengan waktu, di umur yang menurutnya tak
muda lagi , membuat ia berfikir untuk mencipatakan sebuah wadah agar ia bisa
terus mempelajari semua hal yang berkaitan dengan Kebudayaan Tionghoa. Satu hal
yang selalu ia pegang yakni ucapan dari Nabi Muhammad SAW, “ Tuntutlah ilmu
sampai ke negeri Cina”
Salah satu alasan kenapa ia
tertarik dengan kebudayaan Tionghoa, adalah pencapaian dari kebudayaan
tersebut. Menurutnya kebudayaan Tionghoa megalami pencapaian dalam baris depan
peradaban dunia. Ia pun tak menampik bahwa
kebudayaan dan perdaban Tionghoa bahkan lebih maju beberapa langkah dari
semua kebudayaan Indonesia. “saya kira berada di barisan depan dalam pencapaian
peradaban”, ujarnya
Tak hanya itu ia bahkan membuka
usaha kuliner yang memadukan unsur kebudayaan melayu dan
Tionghoa dalam nama usahanya tersebut, yakni Mie Aceh Ceng Ho. Yusril yang
merupakan sepupu Asmi, dan juga juru masak dari usaha kuliner tersebut
menuturkan Ceng HO dipilih oleh Asmi, karena ada keterkaitan sejarah yang
sangat erat antara Ceng Ho dan Nusantara, terutama di Aceh.
Seperti diketahui Ceng Ho adalah penjelah dari negeri China (Tiongkok) pada abad ke 15, yang juga
seorang muslim. Selain berjelajah ke negeri-negeri Asia dan Afrika, Laksamana
Ceng Ho juga kerap berlabuh ke Nusantara
(Indonesia), yang banyak meninggalkan jejak-jejak sejarah. Salah satu di antaranya, adalah lonceng
raksasa "Cakra Donya" yang
diberikan kepada Sultan Aceh pada zaman itu. Kini benda tersebut masih
tersimpan di museum Banda Aceh.
Seperti penjelajahan yang
dilakukan oleh laksamana Ceng Ho, Asmi
Berharap apa yang telah ia capai saat ini, tidak berhenti sebatas itu saja.
Walau cita-citanya untuk mendirikan toko buku bekas terbesar pertama di
Indonesia mungkin telah tercapai, ia menginginkan sesuatu yang lebih besar lagi
yakni, toko gudang bukunya menyebar dan meluas di seluruh pelosok indonesia.
“Saya ingin toko gudang buku ini menjadi
sebuah destinasi bagi orang orang Indonesia atau maupun luar Indonesia”,
ungkapnyaa, lalu tersenyum.
* Tulisan ini dibuat sebagai tugas mata kuliah penulisan feature, UMN (2016) *