Minggu, 26 Februari 2017

Segudang Buku dan Koleksi Kebudayaan Tionghoa

Toko Gudang Buku BSD (2016)

Siang itu hujan melanda kawasan BSD, Serpong  yang  bertepatan dengan hari pertama puasa di bulan suci ramadahan 1437 Hijriah,  atau tahun 2016 dalam hitungan masehi. Nurdan (36) sedang duduk di bangku kasir toko dalam sebuah ruangan  berukuran  12x15 meter. Walau menjalakan ibadah puasa, ia tetap bersemangat menjaga toko tersebut dan tetap melayani permintaan-permintaan pengunjung  yang menanyakan beberapa judul buku.

Toko yang dijaga oleh Nurdan itu bernama toko gudang buku BSD,  toko yang menempati dua bangunan rumah toko  (ruko) itu,  berlokasi  di ruko malibu blok b no 1  BSD  yang  letaknya  hanya beberapa ratus meter dari pusat perbelanjan ITC BSD. Toko buku ini berbeda dari toko-toko buku besar yang ada di Indonesia. Hampir semua buku yang mengisi rak-rak tinggi dalam toko itu  tak ada yang baru, melainkan  buku bekas.  Bahkan tak jarang ada beberapa buku yang sudah tidak beredar dipasaran.

Buku-buku bekas tersebut  didatangkan dari berbagai daerah yakni, Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Semarang,  bahkan ada pula dari luar negeri seperti  Malaysia dan Singapura.  Jumlah buku dalam toko buku tersebut kini  bisa mencapai ratusan ribu yang tersusun dalam rak-rak terpisah sesuai dengan jenis bukunya.

Adapun buku-buku  yang tersedia diantaranya buku sastra seperti novel, cerpen, dan kumpulan puisi, selain itu  ada juga buku-buku sejarah, agama, politik, biografi,  bahkan komik hingga buku dongeng untuk anak. Untuk harga buku yang dijual pun beragam dari 5 ribu hingga jutaan rupiah. Menurut  Nurdan dari semua jenis buku tersebut, buku untuk anak-anak  dan novel yang paling banyak diminati.

Nurdan telah menjaga  toko gudang buku BSD ini, sejak berdiri pertama kali di tahun 2013.  Tapi ia bukanlah pemilik toko,  melainkan Asmi yang dikenalnya sejak 8 tahun lalu  saat  menjadi tukang yang merenovasi rumah Asmi.  Sejak perkenalannya itulah  kini pria kelahiran Bogor itu, menjadi orang kepercayaan Asmi beberapa tahun terakhir ini. “Kalau boleh dibilang sih sebenarnya udah seperti keluarga ya”, Ujar Nurdan.

Siapa sangka, bisnis yang  mampu  memperoleh omzet hingga ratusan juta rupiah  tersebut, berangkat  dari kegemaran  Asmi  membaca buku, pria berumur 44 tahun tersebut  mengaku awalnya  tidak pernah berpikir untuk membuka usaha toko gudang buku. Cerita bermula saat ia mulai intensif membaca buku setelah lulus kuliah, dan mulailah buku-buku koleksinya itu menumpuk. Kemudian, beberapa orang mulai  menawar buku-buku koleksi  yang  ia punya.  Dari situlah ia melihat sebuah peluang bisnis.

Akhirnya di tahun 2002 ia mulai membuka sebuah  lapak di depan kampus Universitas Indonesia (UI) di jalan Salemba, tak disangka ia mendapatkan hasil yang lumayan menguntungkan, dan setahun  kemudian ia memberanikan  untuk menjual buku bukunya di dalam sebuah mall, tepatnya di Pasar Festival Kuningan, Jakarta, yang menurutnya  mungkin itulah toko buku bekas pertama di Jakarta yang membuka lapaknya di dalam mall.  Sayang toko bukunya di kuningan tersebut harus  tutup  di tahun 2016, karena menurunnya  pemasukan dan harga sewa kios yang mulai naik.

Bertahun tahun-tahun kemudian, ia terus melanjutkan bisnisnya hingga  membuka beberapa cabang toko gudang buku di Indonesia, di antaranya di Bekasi, Aceh, Dan BSD, Bahkan ia juga membuka satu toko buku di Malayasia. Ia bersyukur ternyata toko gudang buku miliknya diminati oleh masyarakat luas, “Ternyata mendapatkan respon yang baik dari masyarakat”,  Ujar Asmi saat ditemui di Toko gudang  buku BSD pada, (6/6/16).

Namun,  Sebagai seorang pebisnis,   ia merasa saat ini ada sebuah tantangan yang harus dihadapinya akibat perkembangan teknologi  yang  semakin pesat.  Di mana masyarakat modern saat ini mulai meninggalkan bacaan dalam bentuk fisik akibat derasnya informasi dari internet maupuan  media sosial. Walaupun begitu, tak sedikitpun ia merasa cemas  dan menganggap  kalau fenomena media sosial ini hanyalah sebuah tren.     Ia yakin orang-orang suatu saat akan kembali lagi ke buku dalam bentuk fisik. “saya yakin suatu saat dunia buku (fisik) ini akan bergairah kembali”, ucap Asmi.

Kehadiran e-book dalam dunia teknologi digital juga ditanggapi dengan santai oleh pria lulusan Institut Tekhnologi Indonesia ini. Ia melihat e-book, bukanlah  sebagai kompetitor bagi buku dalam bentuk fisik melainkan bentuk berbeda dari sebuah buku,  maka dari itu ia menuturkan,  “ E-book janganlah dilihat  sebagai  sesuatu yang akan mengalahkan,  tapi menjadi sebuah kemudahan”. Ia melanjutkan “Dengan adanya  e-book orang akan lebih mudah mengakses, bahkan kita bisa membaca buku secara gratis tanpa mengeluarkan biaya.”

Kegemaran Membaca Buku

Soal kegemaran membaca, Asmi menuturkan  semasa kuliah  ia sebenarnya bukanlah orang yang teramat rajin membaca. Namun,  Ketertarikan  membaca  itu sebenarnya telah terlihat semasa ia  kecil,  saat itu ia telah sering membaca  koran maupun majalah yang diberikan oleh orang tuanya.  Barulah selepas ia lulus kuliah, ketertarikan  membaca itu muncul kembali  setelah membaca beberapa buku  yang akhirnya menurut Asmi,  ia mendapatkan hal-hal yang mendalam dari suatu persoalan,  yang awalnya ia hanya mengetahui tentang kulit luarnya saja,  lalu ketika membaca buku ia ternyata mendapatkan sesuatu hal yang lebih luas.

Foto Azmi bersama tokoh-tokoh terkenal
Membaca buku menurutnya adalah  sesuatu kenikmatan yang sulit untuk dijelaskan,  ia mengumpamakan  membaca sebagaimana halnya orang mendaki gunung, bagi orang awam hal tersebut patut dipertanyakan,  apa keuntungan yang didapat setelah mendaki dan harus turun lagi, kemudian hal tersebut terus terulang.  Begitupun dengan membaca,  menurutnya ada sebuah pencapaian yang tercapai setelah selesai membaca ,dan membaca lagi hingga terus berulang. “ada sebuah pencapaian-pencapaian yang sulit dilukiskan” tuturnya.

Walaupun saat ini ia telah melahap banyak buku, tapi ia mengaku tidak punya buku favorit, hanya saja ia mengingat  ada satu buku yang saat ini  masih  berkesan untuknya , buku itu berjudul  Membangun Jalan Tengah: Islam antara Timur dan Barat,  yang ditulis oleh Alija Izetbegovic,  mantan presiden pertama dari negeri  yang penuh dengan konfilk, Bosnia Herzegovina. Dari buku itu ia mendapatkan pesan yang mendalam, “kok ada orang yang berifkir kayak gini”  Ujar Asmi.

Kegemaran Asmi membaca juga  boleh jadi dipengaruhi  langsung oleh sang ayah, yang notabene adalah seorang penulis buku atau pengarang asal Aceh bernama Abubakar Bintang.  Asmi menuturkan bahwa ayahnya mempunyai sebuah perpustakan khusus  tempat dimana sang ayah untuk membaca, maupun mencurahkan hasil pikirannya melalui kata-kata yang ia tulis. Walau tak ada anjuran yang diberikan sang ayah untuk terus membaca, namun ada pesan yang  tidak secara langsung diberikan ayahnya,  dari keseharian sang ayah yang setiap hari berlama-lamaan dengan buku.

Bagai sebuah epidemi, hal itu pula yang saat ini ingin ditularkan oleh Asmi kepada  4 anaknya dari seorang istri bernama Rini (36), yakni Renggali (12), Murabbi (10), Humaira (7), dan Fatimah (3). Ia  mengungkapkan salah satu alasan mengapa ia  mendirikan toko gudang buku,  agar ia dapat mengenalkan buku kepada anak-anakanya sejak dini hingga terus melekat kedepannya, “Mudah-mudahan melekatlah kepada mereka”  Ucapnya. Walau begitu, ia mengaku  tak pernah menaruh standar khusus kepada anak-anaknya untuk harus memulai membaca.

Cinta Kebudayaan Tionghoa


Museum Pustaka Peranakan Tionghoa (2016)

Selain kecintaannya terhadap buku, Asmi juga mempunyai hobi lain, walau ia keturunan Aceh dan seorang muslim, ternyata ia senang  mengoleksi peninggalan-peninggalan sejarah Tionghoa di Nusantara khususnya karya sastra.  Kekagumannya terhadap  kebudayaan dan peradaban Tionghoa itu ditunjukkan dengan mendirikan sebuah museum bernama, museum pustaka peranakan Tionghoa.

Museum tersebut telah dibuka sejak  tahun 2012, tapi sempat tutup dan  kembali aktif dibuka tahun 2016. Tapi jangan membayangkan  sebuah museum dengan gaya arsitektur kuno, Museum ini hanya menempati ruko dua lantai dengan cat putih yang melapisi tembok bangunannya,  letaknya pun tak jauh  bersebrangan dengan toko gudang buku BSD. Adapun museum ini berisikan karya-karya dari kebudayaan Tionghoa khususnya karya sastra Tionghoa yg berada di Nusantara (Indonesia). Untuk berkunjung, museum ini sebenarnya dibuka untuk umum, tapi pengunjung disarankan untuk  membuat janji pertemuan terlebih dahulu dengan sang pemilik.

Kecintaannya  terhadap kebudayaan Tionghoa dimulai saat ia mulai banyak membaca buku tentang kebudayaan dan perdaban Tionghoa. Keterlambatannya mempelajari  peradaban Tionghoa memaksa ia untuk berpacu dengan waktu, di umur yang menurutnya tak muda lagi , membuat ia berfikir untuk mencipatakan sebuah wadah agar ia bisa terus mempelajari semua hal yang berkaitan dengan Kebudayaan Tionghoa. Satu hal yang selalu ia pegang yakni ucapan dari Nabi Muhammad SAW, “ Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”

Salah satu alasan kenapa ia tertarik dengan kebudayaan Tionghoa, adalah pencapaian dari kebudayaan tersebut. Menurutnya kebudayaan Tionghoa megalami pencapaian dalam baris depan peradaban dunia. Ia pun tak menampik bahwa  kebudayaan dan perdaban Tionghoa bahkan lebih maju beberapa langkah dari semua kebudayaan Indonesia. “saya kira berada di barisan depan dalam pencapaian peradaban”, ujarnya

Tak hanya itu ia bahkan membuka usaha kuliner yang  memadukan  unsur kebudayaan melayu  dan  Tionghoa dalam nama usahanya tersebut, yakni Mie Aceh Ceng Ho. Yusril yang merupakan sepupu Asmi, dan juga juru masak dari usaha kuliner tersebut menuturkan Ceng HO dipilih oleh Asmi, karena ada keterkaitan sejarah yang sangat erat antara Ceng Ho dan Nusantara, terutama di Aceh.
 Seperti diketahui  Ceng Ho adalah penjelah dari negeri  China (Tiongkok) pada abad ke 15, yang juga seorang muslim. Selain berjelajah ke negeri-negeri Asia dan Afrika, Laksamana Ceng Ho juga kerap berlabuh ke Nusantara  (Indonesia),  yang  banyak meninggalkan jejak-jejak sejarah.  Salah satu di antaranya, adalah lonceng raksasa "Cakra Donya"  yang diberikan kepada Sultan Aceh pada zaman itu. Kini benda tersebut masih tersimpan di museum  Banda Aceh.

Seperti penjelajahan yang dilakukan oleh laksamana Ceng Ho,  Asmi Berharap apa yang telah ia capai saat ini, tidak berhenti sebatas itu saja. Walau cita-citanya untuk mendirikan toko buku bekas terbesar pertama di Indonesia mungkin telah tercapai, ia menginginkan sesuatu yang lebih besar lagi yakni, toko gudang bukunya menyebar dan meluas di seluruh pelosok indonesia. “Saya ingin toko gudang  buku ini menjadi sebuah destinasi bagi orang orang Indonesia atau maupun luar Indonesia”, ungkapnyaa, lalu tersenyum.

* Tulisan ini dibuat sebagai tugas mata kuliah penulisan feature, UMN (2016) *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar